Makassar, 11 November 2024 – Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin (FKM Unhas) baru-baru ini menggelar kuliah tamu yang berfokus pada isu kesehatan krusial di Indonesia, yaitu Tuberkulosis (TB) dan Diabetes Melitus (DM). Dengan tema “Unraveling The Spatial Patterns of Tuberculosis and Diabetes Mellitus in Indonesia,” acara ini membahas pola penyebaran kedua penyakit tersebut di Indonesia dan tantangan komorbiditas TB-DM yang dihadapi dalam pengendalian kesehatan masyarakat.
Kuliah tamu ini menghadirkan dua pembicara utama: Dr. Matthew Kelly dari Australian National University (ANU) dan Indra Dwinata, MPH, yang juga merupakan Ketua Departemen Epidemiologi FKM Unhas. Bertempat di Ruang Prof. Nur Nasry Noor K225, acara ini dihadiri oleh lebih dari seratus peserta, baik mahasiswa maupun dosen, yang hadir secara langsung maupun virtual.
Kolaborasi Riset Internasional: FKM Unhas dan ANU
Kuliah tamu ini merupakan bagian dari diseminasi riset kolaboratif antara FKM Unhas dan Australian National University melalui program Future Research Talent (FRT). Program ini bertujuan memperdalam pemahaman epidemiologi dengan mempelajari pola penyebaran TB dan DM di Indonesia serta membuka peluang kolaborasi riset internasional untuk mendukung pengembangan strategi pengendalian penyakit yang lebih efektif.
Dalam sambutannya, Dekan FKM Unhas, Prof. Sukri Palutturi, menekankan pentingnya kuliah tamu ini karena prevalensi TB dan DM di Indonesia masih tinggi. “Isu ini sangat penting mengingat kedua penyakit ini sering muncul bersamaan dalam satu pasien, yang membuat penanganannya menjadi semakin kompleks,” kata Prof. Sukri. Dengan meningkatnya prevalensi kasus TB dan DM di Indonesia, FKM Unhas dan ANU berharap dapat memperkuat pemahaman dan solusi untuk tantangan kesehatan tersebut.
Fokus Bahasan: Tantangan Komorbiditas TB-DM
Dr. Matthew Kelly dan Indra Dwinata menguraikan berbagai tantangan yang dihadapi dalam menangani pasien dengan komorbiditas TB dan DM. Berdasarkan data dari Jakarta, sekitar 20% pasien TB juga menderita diabetes, sementara 12% pasien diabetes berisiko tinggi tertular TB. Kondisi ini menjadi double burden atau beban ganda yang memperumit upaya pengendalian penyakit di Indonesia, terutama bagi pasien dengan kondisi kesehatan ganda tersebut.
Menurut Dr. Kelly, “Data dari berbagai daerah menunjukkan bahwa manajemen pasien yang memiliki kondisi komorbiditas TB-DM membutuhkan pendekatan khusus. Hal ini membutuhkan riset mendalam untuk merancang strategi yang efektif.” Keterkaitan antara kedua penyakit ini juga menambah kompleksitas dalam pengobatan dan membutuhkan penanganan komprehensif agar tidak memperparah kondisi kesehatan pasien.
Pentingnya Pemetaan Spasial dalam Penanganan Kasus TB dan DM
Dalam kuliah tamu ini, pemetaan spasial atau geospasial mendapat perhatian khusus sebagai alat penting untuk mengidentifikasi wilayah dengan prevalensi tinggi TB dan DM. Pemetaan spasial memungkinkan para peneliti untuk melihat pola penyebaran kedua penyakit secara detail dan membantu pemerintah dalam merumuskan kebijakan kesehatan yang lebih efektif. Dengan menggunakan pemetaan spasial, pemerintah dapat menentukan daerah-daerah yang paling membutuhkan intervensi kesehatan sehingga penyebaran TB dan DM dapat ditekan secara optimal.
“Pemetaan spasial membantu kita untuk tidak hanya melihat persebaran penyakit tetapi juga merancang kebijakan yang lebih tepat sasaran sesuai kebutuhan lokal,” jelas Dr. Kelly. Teknologi pemetaan spasial juga mendukung upaya pemerintah untuk mengalokasikan sumber daya kesehatan secara lebih efisien, khususnya di daerah-daerah dengan angka kasus TB dan DM yang tinggi.
Menutup Kesenjangan dalam Penelitian dan Implementasi
Kuliah tamu ini juga menyoroti pentingnya penelitian kohort untuk mendalami interaksi jangka panjang antara TB dan DM. Menurut para pembicara, riset kohort akan memberikan data penting mengenai pengaruh komorbiditas TB-DM terhadap resistensi obat serta memperjelas kebutuhan terapi khusus bagi pasien komorbid.
Indra Dwinata mengungkapkan bahwa riset jangka panjang mengenai komorbiditas TB-DM di Indonesia sangat penting sebagai langkah awal untuk mengurangi kesenjangan yang ada dalam strategi pengendalian kedua penyakit ini. “Penelitian yang mendalam mengenai manajemen pasien komorbid TB-DM akan menjadi langkah strategis dalam memperkuat kebijakan kesehatan yang lebih responsif,” tambah Indra.
Selain itu, Dr. Kelly mengusulkan skrining dua arah sebagai metode yang efektif untuk mendeteksi komorbiditas ini lebih dini. Skrining TB pada pasien diabetes dan sebaliknya, menurut Dr. Kelly, bisa mempercepat diagnosis dan memastikan penanganan lebih tepat. Pendekatan ini sangat efektif untuk membantu pemerintah dalam mengurangi kasus-kasus komorbiditas yang selama ini sering kali terlambat dideteksi.
Relevansi dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs)
Kuliah tamu ini sejalan dengan target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya SDG 3, yang bertujuan untuk mengakhiri epidemi TB dan menekan angka kematian dini akibat penyakit tidak menular seperti DM. Fokus terhadap pemetaan spasial dan pengendalian komorbiditas TB-DM merupakan langkah yang sejalan dengan upaya pencapaian SDG 3.3 dan SDG 3.4. Dengan strategi ini, pemerintah diharapkan dapat mengidentifikasi dan menangani daerah dengan angka kasus tinggi, serta merancang kebijakan kesehatan yang relevan dan berkelanjutan.
Pendekatan pemetaan spasial ini berpotensi untuk mendukung target SDGs dengan memungkinkan adanya intervensi berbasis lokasi, yang dapat membantu mengatasi berbagai faktor risiko yang meningkatkan prevalensi kedua penyakit ini di Indonesia. Kegiatan ini sekaligus menjadi momentum bagi FKM Unhas dan ANU untuk berkontribusi lebih besar dalam pencapaian tujuan global tersebut.
Antusiasme Mahasiswa dan Akademisi
Kuliah tamu ini mendapat antusiasme yang tinggi dari kalangan mahasiswa dan dosen FKM Unhas. Banyak peserta yang merasa mendapatkan wawasan baru mengenai pentingnya pendekatan epidemiologi dalam penanganan penyakit menular dan tidak menular. “Kami berharap ada lebih banyak kolaborasi internasional yang bisa mendukung Indonesia dalam mencapai SDGs terkait kesehatan,” kata Dian Sidik Arsyad, MKM, yang bertindak sebagai moderator dalam kuliah tamu ini.
Bagi mahasiswa FKM Unhas, kuliah tamu ini menjadi ajang belajar langsung dari pakar internasional, yang tidak hanya membuka wawasan baru tetapi juga memberi kesempatan untuk melihat bagaimana kolaborasi riset dapat mendukung pencapaian tujuan kesehatan yang lebih luas.
Mendorong Kolaborasi Riset untuk Masa Depan Kesehatan Indonesia
Melalui kegiatan ini, FKM Unhas menandai langkah penting dalam memahami dan menangani tantangan epidemiologi yang kompleks di Indonesia, khususnya dalam menangani beban penyakit ganda TB dan DM. Kolaborasi antara FKM Unhas dan ANU melalui program FRT diharapkan dapat membuka peluang riset lebih lanjut serta mengembangkan kebijakan kesehatan yang tepat sasaran untuk menjawab tantangan epidemiologi di Indonesia.
Dengan pemahaman yang lebih mendalam mengenai pola penyebaran dan interaksi TB dan DM, baik FKM Unhas maupun ANU optimis dapat mengembangkan strategi yang akan mendukung sistem kesehatan Indonesia. Melalui penelitian yang didukung oleh kolaborasi internasional, diharapkan ada langkah-langkah konkret yang dapat diambil untuk meningkatkan kesehatan masyarakat Indonesia secara berkelanjutan.